Makalah Perkembangan Teori Setelah Keynes

Bab I
Pendahuluan
            Setelah Keynes, terutama setelah Perang Dunia ke 2, teori monoter berkembang lebih lanjut lagi. Pada garis besarnya perkembangan tersebut mengikuti dua jalur utama yaitu : Pendekatan  Keynes dan pendekatan Teori Kuantitas. Satu hal yang perlu dicatat  mengenai perkembangan-perkembangan ini  adalah teori monoter dari kedua pendekatan tersebut pada perkembangan-perkembangan yang terakhir menunjukkan  titik-titik pertemuan. Ini bukan berarti bahwa telah tercapai suatu unifikasi atau penyatuan teori monoter, kedua pendekatan tersebut (Keynes vs Teori Kuantitas) masih mempunyai cirri-ciri khusus masing-masin. Tetapi titik-titik persamaannya makin menonjol disbanding pada waktu Keynes mengemukakan teorinya untuk pertama kalinya.
            Perkembangan penting yang lain, yang tidak biasa secara langsung diklasifikasikan ke dalam salah satu jalur pendekatan tersebut, adalah suatu mengintegrasikan.  Perkembangan teori uang dari Keynes  mengikuti system pembagian permintaan akan uang menurut Keynes, yaitu permintaan untuk tujuan Transaksi dan permintaan untuk tujuan spekulasi.
1.2 Rumusan Masalah
·         Bagaimana perkembangan teori setelah Keynes dan perbedaannya,


1.3 Tujuan
·         Untuk mengetahui perbedaan teori Keynes dan teori setelah Keynes.



Bab II
Pembahasan
Perkembangan  Teori Keynes setelah Keynes
1.     Permintaan untuk Transaksi (Baumol-Tobin)

Perkembangan teori permintaan akan uang untuk tujuan transaksi  setelah Keynes terutama sekali berpangkal pada karya dari Professor William Baumol dari Universitas Princeton dan Profesor  James  Tobin dari Universitas  Yale. Baumol dan Tobin mencapai kesimpulan-kesimpulan yang serupa  mengenai permintaan transaksi akan uang.
            Baumol melihat bahwa kebutuhan akan uang  dari seseorang (baik sebuah rumah tangga maupun sebuah  perusahaan, secara teoritis sama) untuk tujuan transaksi pada hakekatnya adalah sama dengan kebutuhan ‘stok’ (inventory)untuk sesuatu barang. Secara teoritis  seseorang menentukan  barapa “stok” (dalam hal ini, stok uang) yang akan dipegang atas dasar pertimbangan biaya, yaitu ia akan memilih jumlah dan pola waktu untuk “stok” tersebut yang membebani biaya  total yang minimal. Model dari  Baumol bertitik tolak dari anggapan bahwa  orang ini menerima pendapatan sejumlah tertentu secara regular setiap waktu (misalnya setiap awal bulan). Untuk menyederhanakan, dianggap bahwa ia selalu membelanjakan sejumlah tertentu setiap harinya.
            Selanjutnya dianggap bahwa pendapatan totalnya bisa  ia pegang semuanya sebagai uang tunai, atau semuanya dalam bentuk obligasi (surat berharga) dan mendapatkan penghasilan tambahan  berupa bunga , atau sebagian dalam bentuk uang tunai dan sebagian dalam bentuk uang tunai dan sebagian dalam bentuk obligasi. Pemegangan uang tunai dianggap  tidak memberikan  penghasilan apapun. Uang tunai  dipegang karena  karena uang tunai bissa digunakan untuk tujuan bertransaksi, sedang obligasi tidak bisa digunakan untuk belanja kecuali  kalau ditukarkan menjadi uang tunai  lebih dahulu (atau dijual). Selanjutnya dianggap bahwa setiap kali ia menjual obligasi (berapa pun jumlahnya) ia harus membayar ongkos tertentu(tetap) sebesar b rupiah. Nilai riil dari pendapatannya per periode  kita sebut T rupiah, tingkat bunga per periode yang sama adalah R, sedangkan K adalah nilai ( atau jumlah) obligasi yang setiap kalinya ia akan jual (atau tukarkan dengan uang tunai) dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan uang tunai untuk kebutuhan transaksinya selama jangka waktu tertentu. Ia akan tentukan jumlah tersebut sesuai dengan pertimbangan biaya yang paling menguntungkan baginya.
            Perlu kita ingat disini bahwa karena uang tunai tidak menghasilkan penghasilan apapun, sedang obligasi menghasilkan penghasilan bunga, maka orang tersebut akan lebih suka memegang pendapatan totalnya sebanyak mungkin dalam bentuk obligasi dan memegang seminimal mungkin dalam bentuk uang tunai.
            Bisa kita bayangkan disini perlu bahwa perilaku rasional baginya adalah memegang semua pendapatan totalnya dalam bentuk obligasi  dan setiap kali menukarkan (atau menjual) sebagian dari obligasi  yang ia pegang manjadi uang tunai (dalam notasi diatas digunakan symbol K) secukupnya saja untuk memenuhi kebutuhan uang tunai untuk tujuan transaksi selama suatu jangka waktu tertentu. Berapa besar obligasi yang setiap kali ia harus menjual (K). untuk tujuan transaksi ini? Pertimbangannya adalah mencari pola yang membebani  biaya total yang minimum baginya. Kalau dia terlalu sering menukarkan obligasinya dalam jumlah yang kecil-kecil, dengan maksud agar pendapatan  totalnya (T) sebanyak mungkin dan selama mungkin terpegang dalam bentuk  obligasi yang menghasilkan bunga, maka ia harus membayar biaya penjualan (yaitu b rupiah setiap kali penjualan) terlalu banyak.
            Sebaliknyabila ia menukarkan obligasi dalam jumlah yang terlalu besar setiap kalinya ia akan kehilangan penghasilan bunga yang dia bisa terima seandainya ia memegang obligasi yang lebih banyak. Biaya total © dari pemegang stok ini adalah :
C =  ………………(1)



 disini adalah berapa kali dalam periode-periodenya ia akan  menjual obligasi, sedangkan b adalah biaya tetap setiap kali ia menjual obligasi. Jadi b  adalah seluruh biaya penjualan obligasi selama periode penghasilannya. K adalah jumlah ‘stok’ awal dari uang tunai yang setiap kalinya ia akan pegang, untuk memenuhi kebutuhan transaksi.

B
 

D
 

E
 
 



Waktu
 
               




OS* adalah “periode-penghasilan” dan selama periode tersebut ia memperoleh penghasilan T. sejumlah uang tunai tertentu ( = K ) dipegang pada awal setiap periode-pembelajaran  =  = . Pada waktu 0 ia memperoleh “stok” uang tunai sebesar K, yang ia pergunakan (untuk transaksi atau dibelanjakan) dengan tingkat penggunaan yang konstan setiap harinya, sehingga grafik dari “stok” uang yang ia pegang pada setiap waktu antara waktu 0 dan  adalah garis (lurus) . Pada waktu mencapai  “stok” uangnya habis dan pada saat itu ia akan menjual obligasi lagi untuk memperoleh “stok” uang sebesar K, yang selanjutnya ia gunakan untuk  transaksi dengan pola yang sama. Garis , adalah grafik “stok” uang yang ada di tangan selama periode-pembelanjaan . Pada waktu  “stok” uangnya yang lama habis, dan ia memperoleh “stok” baru sebesar K lagi, dan ia akan gunakan dengan pola yang serupa. Demikian proses ini berulang. Dari gambar ini jelas bahwa ongkos-ongkos yang ia bayar untuk penjualan obligasi selama periode-penghasilan OS* adalah b.T/K.
Sedangkan “biaya” berupa kehilangan bunga (karena ia memegang uang dan bukan obligasi) adalah tingkat bunga R dikalikan stok rata-rata selama periode tersebut. Dari gambar di atas, stok rata-rata adalah jelas sama dengan ½ K. Jadi “biaya bunga” yang ia tanggung selama periode tersebut adalah R K/2. Biaya total (C) adalah penjumlahan dari “biaya penjualan obligasi”, yaitu seperti yang tertulis dalam persmaaan (1) di atas.
Berapakah K yang ia pilih? Ia akan memilih K yang memenuhi syarat bahwa C adalah minimum. Ini bias didapatkan dengan mnurunkan fungsi C terhadap K dan menyamakan dengan nol.

  =  -    +    =  …………………..(2)

Atau

K  =    ……………………………(3)

Kalau b, R dan T kita ketahui nilainya, maka K bisa didapatkan. K dalam persamaan (3) adalah “stok äwal” uang tunai yang optimal.
Dari persamaan (3) kita bisa  memperoleh fungsi permintaan akan uang tunai untuk tujuan transaksi.  Jumlah uang tunai yang ia butuhkan pada setiap waktu tidak lain adalah stok rata-rata yang ia pegang atau = K/2. Jadi permintaan akan uang untuk transaksi adalah :

  =     =    ……………………(4)

Perhatikan bahwa permintaan akan uang tunai di sini adalah permintaan akan uang tunai dalam arti riil yaitu dengan anggapan harga-harga konstan. (ini sama dengan dengan teori Keynes yang dibahas dalam BAB III). Permintaan akan uang tunai untuk transaksi dalam satuan uang (in money terms) bisa didapat dengan mamindah variabel P (tingkat harga) ke sisi kiri dari persamaan.

  =  (   )  P

Atau :

  =   T  0,5  R  -0,5 P …………………(5)

Di mana :

  =  ½              konstante

                Fungsi permintaan akan uang tunai untuk transaksi sperti persamaan (5) jelas berbeda dengan fungsi permintaan akan uang untuk transaksi yang asli dari Keynes, yaitu kYP (bentuk proporsional terhadap pendapatan). Dan perbedaan ini mempunyai satu implikasi penting, yaitu bahwa apabila benar bahwa setiap warga masyarakat menentukan permintaannya akan uang tunai untuk tujuan transaksi seperti apa yang digambarkan oleh Baumol. Maka fungsi permintaannya menunjukan adanya economies of scale dari pengunaan uang. Bisa dilihat bahwa bila pendapatan totalnya (T) naik misalnya 2 kali lipat, maka permintaannya akan uang hanya akan naik dengan  atau 1,414 kali, berarti ada “penghematan” (atau ëconomies) dari kebutuhan uang relative terhadap pendapatan. Hal seperti ini tidak dijumpai pada bentuk proporsional  = kYP, karena di sini kenaikan pendapatan (Y) dengan 2 kali lipat juga akan manaikkan permintaan akan uang untuk  transaksi 2 kali lipat adanya “economies of scale” ini mempunyai 2 konsekuensi lanjut yang perlu dicatat :

a)    Dari segi ekonomi mikro, hal ini berarti bahwa permintaan akan uang untuk transaksi dari masyarakat secara keseluruhan ternyata tidak hanya tergantung pada pendapatan nasional (Y), tetapi juga pada “distribusi pendapatan” antar warga masyarakat. Apabila sebagian besar dari Y diterima oleh sejumlah kecil orang (yaitu apabila distribusi pendapatan tidak merata) maka permintaan masyarakat akan uang untuk transaksi adalah lebih kecil daripada apabila Y yang sama yang didistribusikan secara lebih merata.
b)    Dari segi kebijaksanaan moneter, adanya economies of scale dalam penggunaan uang untuk  transaksi mempunyai implikasi bahwa kebijaksanaan moneter relative menjadi lenih efektif daripada seandainya tidak ada economies of scale (yaitu dalam kasus permintaan yang “proporsional”) ini mudah dimengerti, karena bila misalnya supplay uang di naikkan dengan 2 kali maka (karena   =    dalam equilibrium) pendapatan nasional (Y) akan naik dengan   =  4kali.  naik menjadi 2 x, yaitu = 2 . Sedangkan supplay uang harus sama dengan permintaan akan uang, dala equilibrium. Jadi 2 = 2. Jadi bila  naik 2 x (karena kebijaksanaan moneter melipatkan  2x) maka T akan naik 4x. bandingkan dengan  keadaan di mana tidak ada economies of scale    =  kYP, maka bila  naik 2x maka Y juga akan naik 2x lipat. Jadi adanya “economies of scale” dalam penggunaan uang membuat kebijaksanaan moneter menjadi lebih efektif!

                Dalam kondisi “full employment”, yaitu di mana income rill tidak bisa naik lagi, maka kenaikan  akan mengakibatkan (bukan lagi kenaikan Y, tetapi) kenaikan P secara proporsional, meskipun ada ecomoies of scale. Efek seperti ini juga dijumpai dalam keadaan di mana  tidak ada economies of scale.

                                     2

2              =                2

            =                 (2P)

Dalam kasus “”proporsional” (tidak ada economies of scale)

              =                 kYP

2             =                 kY (2P)
(T danY adalah “full employment income”)

Model Baemol – Tobin, dengan demikian merupakan satu perkembangan penting dari satu aspek dari teori moneter Keynes, yaitu aspek Transaksinya.
                                                                   
2.    Permintaan Uang Untuk Spekulasi (Tobin)

Perkembangan aspek spekulasi dari teori Keynes terutama skali dari karya Profesor James Tobin.
Keynes menganggap bahwa seseorang dalam menentukan apakah memilih memegang uang atau memegang obligasi berperilaku seakan-akan ia yakin apa yang akan terjadi dengan tingkat bunga di waktu mendatang, atas dasar perbandingan secara mental antara apa yang ia anggap sebagai tingkat bunga “normal” dengan tingkat bunga yang berlaku. Bila diharapkan tingkat bunga akan turun, maka ia  akan memegang semua kekayaannya dalam bentuk obligasi, sebaliknya bila ia mengharapkan tingkat bunga akan naik ia akan memegang semua kekayaannya dalam bentuk uang tunai. Kurva permintaan akan uang untuk tujuan spekulasi bagi induvidu, seperti telah di bahas dalam makalah sebelumnya. Berbentuk siku-siku yang patah pada suatu tingkat bunga yang ia anggap “normal” lalu bagaimana Keynes bisa mendapatkan kurva permintaan akan uang untuk spekulasi bagi masyarakat secara keseluruhan yang mempunyai slope yang negative dan halus? Kita sebutkan bahwa Keynes beranggapan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh seorang individu hanya merupakan bagian kecil dari kekayaan total dalam masyarakat; ini berarti bahwa kurva permintaan individu hanya merupakan satu titik kecil pada kurva permintan agregat. Di samping itu Keynes menanggap bahwa di dalam masyarakat individu-individu mempunyai pendapat yang beraneka ragam mengenai tingkat bunga yang mana yang dianggap “normal”; ini berarti bahwa titik-titik pada kurva permintaan agregat menyebar mulai dari tingkat bunga tinggi ke tingkat bunga rendah. Kedua asumsi ini menjamin kurva permintaan agregat akan uang untuk spekulasi mempunyai slope negative yang smooth (halus). Meskipun kurva permintaan individual berbentuk kurva yang tidak kontinyu (patah).
Kelemahan dari teori ini adalah bahwa pada suatu saat seseorang individu akan memegang seluruh kekayaannya dalam dalam bentuk  uang tunai atau seluruhnya dalam bentuk obligasi, dan tidak ada kemungkinan individu memegang suatu kombinasi uang dan obligasi (karena fungsi permintaannya yang berbentuk siku-siku yang patah). Ini adalah suatu asumsi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam kenyataan kita jumpai orang memegang berbagai kombinasi antara uang dan surat-surat berharga. (orang melakukan “diversifikasi” untuk kekayaan yang mereka pegang).
Teori Tobin bertujuan mengatasi kelemahan ini. Teori ini bertitiktolak pada anggapan bahwa seseorang akan mendapatkan kepuasaan (utility) yang lebih besar semakin besar nilai kekayaannya atau penghasilannya; tetapi ia akan semakin besar yang bersangkutan dengan kekayaannya. Sebagai contoh, baginya uang Rp. 1000,- yang ia pasti terima (probabilita = 100%) mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada seandainya ia menghadapi keadaan bahwa ia bisa menerima salah satu dari dua kemungkinan, yaitu, Rp. 500,- dengan kemungkinan (probabilita) = 50% atau Rp. 1.500,- dengan probabilita 50% sebetulnya “nilai harapan” (expected value) dari keadaan yang kedua ini sama dengan keadaan yang pertama : E (1) atau “ecpented value” dari keadaan yang pertama adalah Rp. 1000,- x 100% = Rp. 1.000,- dan E (2) atau”ëxpented value” dari keadaan yang kedua adalah sama dengan (Rp. 5.00,-) (50%) + (Rp.1.500,-) (50%) = Rp. 1.000,-. Tetapi keadaan yang kedua mempunyai “risiko” yang lebih besar, dalam arti orang tersebut bisa memperoleh Rp. 1.500,- tetapi bisa juga memperoleh hanya Rp. 5.00,-. Ketidaktentuan ini adalah risiko, yang memberikan kepuasaan negative (disutility). Jadi ia lebih suka memilih keadaan 1, meskipun keduanya mempunyai expented value yang sama  !
Salah satu cara untuk mengukur besar kecilnya “risiko” adalah dengan menggunakan konsep statistik yang kita kenal dengan nama deviasi standard atau σ 4 ). Tobing menganggap bahwa orang bisa menilai secara konsisten (dan kemudian memilih diantaranya) berbagai nilai kekayaan atau pendapatan (yaitu berbagai expected value dari kekayaan/pendapatan terbuka baginya beserta risiko masing-masing kemungkinan tersebut. Lebih lanjut diasumsikan bahwa orang bisa melakukan “trade off” atau substitusi antara “nilai” dengan “risiko”, dalam arti bahwa ia akan bisa mengatakan bahwa ia menilai suatu pendapatan Rp. 1.000,- dengan risiko σ = 0  (atau probabilita = 1) sama dengan,misalnya pendapatan Rp. 2.000,- (atau pendapatan dengan expected value = Rp. 2.000,-) dengan resiko σ = 500. Dan mungkin ia juga menilainya sama dengan pendapatan degan expected value = Rp. 3.000,- tetapi dengan risiko yang lebih besar, misalnya σ = 1.000.
Ketiga “pilihan” atau keadaan tersebut kita ringkas sebagai berikut :

Keadaan / pilihan                   E                      σ                    Utility

1.                               Rp. 1.000,-                  0                     A

2.                               Rp. 2.000,-              500                     A

3.                               Rp. 3.000,-           1.000                     A

Ketiga keadaan tersebut menghasilkan utility yang sama (A) bagi orang tersebut. Sejalan dengan teori utility mengenai barang-barang lain, maka Tobin menganggap  bahwa untuk kekayaan atau pendapatan pun berlaku hukum marginal utility yang menurun (law of dimishing marginal utility), yaitu semakin besar kekayaan/pendapatan semakin kecil tambahan utility (marginal utility) yang diperoleh dari setiap rupiah kenaikan kekayaan/pendapatan tersebut.
Dari asumsi-asumsi tersebut bisa diperoleh “kurva-kurva indiferensi” atau indifference curve bagi seseorang seperti gambar di bawah ini.
 



Text Box: Nilai Kekayaan/pendapatan












                Kurva-kurva indiferensi ini mempunyai pengertian yang sama seperti kurva-kurva indiferensi yang kita kenal dalam teori permintaan. Setiap titik pada (misalnya)  menunjukkan berbagai kombinasi E dan σ²   ) yang menghasilkanutility yang sama bagi orang tersebut. Demikian pula semakin tinggi posisi 1 semakin tinggi tingkat utility yang diperoleh ( jadi >>>> ). Kurva-kurva indiferensi tersebut cembung ke arah sumbu horisontal karena kita menganggap bahwa “law of diminishing marginal utility” berlaku. Semakin kaya seseorang semakin enggan ia menanggung risiko. Untuk mengurangi risiko tertentu ia berani “membayar” lebih besar, berupa penurunan imbalan E (expected value dari kekayaan) yang semakin besar. Ini sejalan dengan interpretasi kurva indifference dalam teori permintaan : semakin banyak barang X yang ia punya relatif  terhadap barang Y yang ia punyai, semakin besar tambahan barang X yang harus dikonsumsikan untuk menggantikan setap unit Y yang hilang, agar ia tetap bisa mempertahankan tingkat kepuasannya semula.
Selanjutnya, untuk penyederhanaan, diasumsikan bahwa individu yang kita analisa mempunyai sejumlah kekayaan tertentu, dan ia akan memutuskan berapa bagian akan dipegang dalam bentuk uang tunai dan berapa bagian dalam bentuk obligasi.


 
















              Titik-titik pada garis tersebut menunjukkan berbagai kemungkinan pola pemegangan kekayaan. Titik W menunjukkan pemegangan kekayaan semuanya dalam bentuk uang tunai (nilai = W dan σ = 0). Titik W (1 + R) menunjukkan bahwa seluruh kekayaan dipegang dalam bentuk obligasi (dengan nilai kekayaan W (1 + R) dan risiko σ). Titik-titik diantaranya menunjukkan berbagai kombinasi pemegangan uang tunai dan obligasi. Semakin mendekat titik W, berarti semakin banyak uang tunai yang dipegang, dan sebaliknya semakin mendekati titik W  (1+ R) semakin banyak obligasi yang dipegang. Misalnya pada titik A, ()W  adalah uang tunai yang ia pegang, sedang sisanya ia pegang dalam bentuk obligasi.
Kombinasi mana yang ia akan pilih ? Ia akan memilih pola pemegangan (atau kombinasi uang tunai dan obligasi) sedemikian rupa sehingga kombinasi tersebut menghasilkan kepuasan yang tertinggi baginya. Kepuasan yang tertingggi tercapai bila kurva indifferencenya bersinggungan dengan garis W _ W (1 + R).

W
 
 









0                                   
Gambar IV.3

            Kurva indiferensi  adalah yang tertinggi yang bisa ia capai dengan jumlah kekayaan yang ada padanya. Ia akan memegang uang tunai sebesar () W, sisanya dipegangnya dalam bentuk obligasi. Posisi selain B akan memberikan kepuasan yang lebih rendah baginya.

Gambar IV.4 tersebut bisa digunakan untuk menganalisa efek dari perubahan tingkat bunga, R, terhadap “permintaan” akan uang tunai oleh pemilik kekayaan. Lihat Gambar IV.5 berikut :







Bila tingkat bunga naik dari R ke , maka “nilai” dari kekayaan seandainya semuanya dipegang dalam bentuk obligasi adalah W (1 + ) yang lebih tinggi dari W (1 + R). Posisi equilibrium berubah dari B ke C. “Permintaan” akan uang untuk tujuan spekulasi akan turun dari ()W menjadi ( ) W. Kalau hal yang serupa dilakukan untuk berbagai tingkat bunga maka kita akan bisa mendapatkan kurva permintaan uang untuk spekulasi yang dihubungkan dengan tingkat bunga ( Gambar IV.6).


R1111
 

R111
 
Flowchart: Process: Tingkat bunga
 










                                                                Uang Tunai

            Gerakan dari titik B ke titik C dalam Gambar IV.5 yang disebabkan oleh perubahan R, seperti halnya dalam teori permintaan akan barang, bisa dipecah menjadi dua : “Substitution effect” dan “income effect”. Lihat Gambar IV.7.



 










Gambar IV.7
                                                                Gerakan dari B ke D adalah “substitution effect”, dan gerakan dari D ke C adalah “income effect”. (Dalam hal teori permintaan akan uang ini, “income effect” lebih tepat disebut “wealth effect”, karena di sini yang kita analisa adalah “kekayaan” dan bukan “income”). Sejalan dengan teori permintaan akan barang dalam teori Eekonomi mikro, maka dalam teori permintaan akan uang di sini pun kita bisa mempunyai kasus di mana wealth effect-nya negatif. Kalau wealth effect yang negatif ini cukup besar sehingga lebih dari  substitution effect, maka ada memungkinan bahwa kenaikan tingkat bunga justru  menaikkanpermintaan akan uang untuk spekulasi, dan penurunan tingkat bunga menurunkan permintaan tersebut.

E
 

E
 
 




                                                                   












                                                                     

EDescription: ttd kabalai (Pak Andi)
 
 



                                                 
                Gambar IV.8 (A) adalah kasus di mana wealth effect negatif dan lebih besar dari substitution effect; kurva permintaan uang di sini mempunyai slope positif (terhadap tingkat bunga). Gambar IV.8 (B) adalah kasus di mana wealth effect negatif tetapi masih lebih kecil dari substitution effect, sehingga kenaikan tingkat bunga masih menurunkan permintaan akan uang (demand mempunyai slope negatif).
Kesimpulannya adalah bahwa bentuk kurva permintaan seseorang akan uang untuk spekulasi tergantung sekali pada bentuk kurva-kurva indiferensinya.
Gambar seperti di atas juga bisa digunakan untuk menganalisa efek dari perubahan kekayaan terhadap permintaan akan uang. Ini bisa dilakukan dengan menentukan posisi-posisi equilibrium dengan garis W – W (1 + R) bergeser (ke atas atau ke bawah, tergantung apakah ada kenaikan atau penurunan kekayaan seseorang) tetapi tetap sejajar satu sama lain. Pengaruh kenaikan kekayaan terhadap permintaan akan uang bisa positif atau negatif. Efek dari perubahaan faktor-faktor lain juga bisa dianalisa dengan cara ini. Perubahan dari selera bisa digambarkan sebagai perubahaan dari bentuk dan posisi dari kurva-kurva idiferensi. Perubahan dari “risiko” dari obligasi juga bisa dianalisa sebagai berikut (Gambar IV.9).
 












Gambar IV. 9
              Bila karena sesuatu hal “risiko” yang terkandung dalam pemegang obligasi menjadi lebih besar (karena makin besarnya ketidaktentuan atau “uncertainty” mengenai gerak dari tingkat bunga di masa mendatang), maka ini berarti bahwa kalau sebelumnya pemegangan seluruh kekayaan dalam bentuk obligasi menghasilkan kekayaan = W (1 + R) dengan tingkat “risiko” = , sekarang nilai kekayaan masih tetap, yaitu W (1 + R) tetapi tingkat risiko naik menjadi . Ini berarti adanya gerakan dari titik K ke L. Akibatnya garis kemungkinan kombinasi pemegangan kekayaan berayun dari WK ke WL. Posisi equilibriumnya berubah menjadi B ke C, yang berarti lebih banyak uang tunai yang akan dipegang. Ini masuk akal, karena dengan R yang tetap kenaikan derajat risiko dari pemegangan obligasi membuat dari tarik obligasi menurun relatif terhadap daya tarik uang tunai sebagai bentuk kekayaan yang dipegang. 



















BAB III
KESIMPULAN
              Baumol melihat bahwa kebutuhan akan uang  dari seseorang (baik sebuah rumah tangga maupun sebuah  perusahaan, secara teoritis sama) untuk tujuan transaksi pada hakekatnya adalah sama dengan kebutuhan ‘stok’ (inventory)untuk sesuatu barang. Secara teoritis  seseorang menentukan  barapa “stok” (dalam hal ini, stok uang) yang akan dipegang atas dasar pertimbangan biaya, yaitu ia akan memilih jumlah dan pola waktu untuk “stok” tersebut yang membebani biaya  total yang minimal. Model dari  Baumol bertitik tolak dari anggapan bahwa  orang ini menerima pendapatan sejumlah tertentu secara regular setiap waktu (misalnya setiap awal bulan). Untuk menyederhanakan, dianggap bahwa ia selalu membelanjakan sejumlah tertentu setiap harinya.
              Teori Tobin bertujuan mengatasi kelemahan pada teori Keynes. Teori ini bertitiktolak pada anggapan bahwa seseorang akan mendapatkan kepuasaan (utility) yang lebih besar semakin besar nilai kekayaannya atau penghasilannya; tetapi ia akan semakin besar yang bersangkutan dengan kekayaannya.
Kesimpulan dari analisis Baumol-Tobinadalah ketika suku bunga meningkat, jumlah dari uang tunai yang dipegang untuktransaksi akan turun, yang berarti percepatan akan naik seiring dengan kenaikansuku bunga. Dengan kata lain, komponen transaksi dari permintaan akan uangberhubungan negative dengan tingkat suku bunga.
Pengembangan lebih lanjut daripendekatan Keynes yaitu pendekatan Baumol-Tobin, telah mencapai penjelasan yanglebih detail mengenai permintaan uang untuk transaksi, berjaga-jaga danspekulasi. Upaya untuk memperbaiki prinsip yang mendasari Keynes mengenaipermintaan atas uang untuk spekulasi hanya berhasil sebagian, masih belum jelasbahwa permintaan ini bisa terjadi.     Tetapi model dari permintaan uang untuktransaksi dan berjaga-jaga menunjukkan bahwa komponen permintaan uangberhubungan negative dengan suku bunga. Dengan demikian, gagasan Keynes bahwapermintaan uang sensitive terhadap suku bunga, menyatakan bahwa percepatantidaklah konstan dan pendapatan nominal dipengaruhi oleh faktor-faktor selainjumlah uang masih bisa didukung.




DAFTAR PUSTAKA

Ekonomi Monoter/Boediono,--ed.3,--BPFE : Yogyakarta, 2001
http://fachriceg.wordpress.com/2011/10/04/teori-permintaan-uang-post-keynesian-teori-baumol-tobin/


SHARE
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 komentar:

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com tipscantiknya.com kumpulanrumusnya.comnya.com